24 dan Perayaan Tahunan

 

Meski tahu bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, rasanya manusia selalu terperangkap dalam perasaan sedih luar biasa saat ditinggal seseorang. Beberapa jam lalu bertukar kabar lewat gawai, beberapa jam kemudian hilang bagai lilin yang ditiup.

Ngomong-ngomong soal lilin, tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, benda penerang dan kue ‒yang lebih lama bertengger di kulkas daripada ngabisinnya‒ absen di rumah kami.

Kalau diingat-ingat, kami sekeluarga jarang berfoto. Itulah alasan kenapa aku tidak punya kenangan dalam bentuk gambar bila ingin mengingat momen tertentu termasuk momen perayaan ulang tahun. Kami hanya duduk mengelilingi meja, berdoa, memotong kue, makan, dan bercerita.

Merayakan ulang tahun seperti itu kukira bisa dilakukan di tahun-tahun berikutnya, nyatanya tidak. 'Kadang sesuatu baru terasa berharga ketika kehilangan' terasa benar adanya. Tidak ada lagi rutinitas memanggil keluar dari kamar untuk mengelilingi meja dan sekadar duduk bersama untuk makan kue.

Kue itu kini digantikan dengan bunga-bunga yang dirangkai mama, ditempatkan di sisi kiri dan kanan nisan salib bapak. Kami ‒mama, abang, dan aku‒ mengunjungi makam bapak satu hari sebelum tanggal lahirnya. Tidak ada yang banyak bicara saat itu, kecuali sapaan 'Halo, kami datang' yang asalnya dari mahkota hatinya. Sisanya, senyap.

Ada perasaan asing yang kurasakan setiap kali pergi ke makam, seperti 'Oh, pada akhirnya akan seperti ini.' Rasanya seperti membuka ruang kecil dalam diriku: ruang yang berisi figur bapak, rasa aman yang selalu ditawarkannya, momen percekcokan kami, kekesalan sekaligus penyesalanku padanya, bilik maaf yang selalu tersedia, dan perasaan kecil hatiku karena belum bisa memberikan sesuatu padanya seperti anak-anak lain.

Alih-alih mengungkapkannya secara verbal di hadapan nisan, aku memilih bertelepati mengharapkan pengertiannya atas kesenyapan itu karena jika aku membuka mulut, suaraku akan bergetar dan air mata akan menggenang. Jadi, aku memilih opsi untuk terlihat seperti air dalam kolam.

Bapak telah menyelesaikan putaran kehidupannya yang ke-57 pada 2021 dengan sangat baik. Tanpa kusadari, aku sudah menjadi anak perempuannya selama 22 tahun dan bersandar padanya selama itu juga. Semenakutkan dan sepahit apa pun jalan yang kulalui jadi lebih terang dengan kehadirannya. Tetapi, sepeninggalan bapak, aku harus berdiri sendiri dan tumbuh tanpa figurnya karena hidup mesti berjalan. 

Hidup tidak akan berhenti meski tahu sebuah keluarga sedang kehilangan kepalanya. Hidup tidak punya kewajiban untuk pause meski tahu bahwa hari ini biasanya sebuah keluarga memperingati hari lahir seseorang. Tiap orang yang ikut berduka dengan kami juga pada akhirnya akan pulang ke rumahnya masing-masing untuk menyambung hidup. Tidak ada yang salah karena memang seperti itu adanya.

Kini, perayaan tahunan bapak kami mulai dengan mencabuti rumput liar yang tumbuh di atas makamnya, menaburinya bunga, duduk di atas rerumputan yang menutupi petinya, dan mengirimkan doa untuknya dan juga untuk kami yang masih berziarah di dunia.

Hari itu, awan sedang cantik-cantiknya. Entah sudah berapa kali menjadi saksi orang-orang yang mengunjungi kerabatnya untuk bermonolog.

Selamat tanggal 24, pak. Semoga perjalananmu menyenangkan!







Komentar

Postingan Populer