Teman Lama yang Belum Padam
| [Photo by Nick Fewings on Unsplash] |
Kalau diingat-ingat ketertarikanku dengan tulisan mulai kusadari saat berada di kelas 1 SMP. Seorang guru Bahasa Indonesia memperkenalkan materi puisi pada seisi kelas. Saat itu, aku tidak punya gambaran bagaimana harus membawakan puisi di hadapan orang banyak. Aku hanya mempraktikkan ulang dari apa yang kulihat dan mengonversikannya dengan gayaku.
Namun, sejak itu, aku merasa hidup. Ada bagian dari diriku yang tumbuh. Melihat netra tiap orang dari atas mimbar rasanya menyenangkan karena dapat berekspresi sesuai dengan puisi yang dibawakan. Rasanya seperti memberi energi lain dalam diriku.
Tanpa sadar, puisi membawaku ke dunia tulis-menulis dan kami mulai merajut tali pertemanan. Aku mulai suka mengunjungi toko buku, memandangi cover indahnya, bagaimana mereka tersusun dalam rak, bagaimana di dalamnya mencetak banyak buah pikiran yang jarang diungkapkan penulisnya secara gamblang, dan bagaimana seseorang bisa tergerak ketika menyelesaikan buku yang dibaca.
Namun, bukan hidup namanya bila tidak menyentak seseorang. Di tengah kesukaanku itu, aku harus memutuskan ke mana harus melangkah saat menduduki bangku Sekolah Menengah Atas. Pada saat itu, aku mudah terseret omongan orang lain dan kurang vokal menyuarakan keinginan hingga membuatku tiba di dunia yang asal kupilih. 24/7 bersama orang-orang yang terlihat bergairah dengan dunia tersebut membuatku ikut arus, bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena takut ketinggalan. Menghabiskan waktu di depan layar dan dekat dengan sederetan instruksi tidak membangkitkan gairahku, justru membuatku seperti tidak bernyawa. Setiap bercermin, kilat mataku mulai hilang, aku tidak menikmati apa yang kulakukan seberapa keras aku mencoba, dan kepercayaan diriku pun mulai merosot.
Tahun demi tahun, aku merasa seperti air dalam wadah yang tidak tepat. Opsi berhenti selalu berdengung di kepala, tapi lagi-lagi 'tidak' adalah jawaban karena 'serba tanggung' adalah pertimbangan. Alhasil, aku melanjutkan sisa perjalanan dengan kaki terseok-seok, berharap di arena ini garis finish segera terlihat.
Mencari penyemangat dalam bentuk tulisan dan mengikutsertakan diri dalam perlombaan adalah salah satu cara yang kulakukan agar tetap waras. Menuangkan perasaan dan pikiran ke dalam tulisan terasa benar dan meringankan. Kalah-menang tidak jadi persoalan karena bertahan adalah tujuan saat itu. Bagiku, bertahan adalah perolehan yang luar biasa.
Sampai pada akhirnya, aku berhasil melewati studi tiga tahun tersebut. Tulisan menyelamatkan dan membawaku pada sebuah kesimpulan kecil bahwa sejak dulu dan sampai kini, mereka tidak hilang. Akan selalu ada kobaran api kecil yang mengikat ketertarikanku dan mampu membuatku bertahan. Untuk itu, aku menghidupkan kembali api kecil itu dalam wadah ini. Sayangnya, beberapa tulisan yang sempat kubuat secara sadar kuhapus karena kekesalanku pada diri sendiri yang berujung penyesalan. Namun, beberapa di antaranya masih bisa diselamatkan dan akan dicantumkan di sini. Jadi, halo teman lama! Senang bertemu kembali.
―
Oh iya, aku perlu mengucap terima kasih pada sosok pahlawan yang telah memperkenalkanku pada dunia yang kusukai ini. Di mana pun berada aku berharap ibu dikelilingi hal-hal baik.

Komentar
Posting Komentar